ADA
kesan yang mendalam bahwa sakit saya yang parah kemarin-kemarin itu
karena saya kerja terlalu keras. Seorang ibu sampai menasihati anaknya
begini: Jangan kerja terus seperti itu. Nanti seperti Pak Dahlan Iskan!
Setelah
menerima SMS dari Saudara Socrates, teman di Batam yang lahir di
Padang itu, saya jadi merasa bersalah. Ternyata, saya kurang pandai
menjelaskan bahwa sakit saya ini bukan karena kerja keras, tapi karena
saya terkena virus hepatitis B. Memang, setelah virus itu berkembang
menjadi sirosis dan kemudian kanker, sebaiknya tidak kerja keras lagi.
Tapi, itu bukan berarti akan menyembuhkan sakitnya, melainkan
memperlambat saja perkembangannya.
Tentu memperlambat juga amat
baik. Hanya, saya tidak memilih itu karena saya punya filsafat sendiri
dalam menyikapi umur manusia. Saya memilih berumur pendek tapi
bermanfaat, daripada umur panjang tapi tidak bisa berbuat banyak. Jalan
pikiran saya itu biasanya saya ungkapkan ke teman-teman dengan istilah:
intensifikasi umur.
Tentu kalau masih ada pilihan lain, saya akan memilih yang terbaik. Misalnya, ya berumur panjang, ya bermanfaat.
Tentu,
saya akan merasa sangat berdosa kalau gara-gara tulisan saya ini
banyak orang takut bekerja keras. Bangsa ini memerlukan puluhan juta
orang yang gigih.
Kalau saya akan dijadikan contoh jelek,
jangan dikaitkan dengan kerja keras, melainkan kaitkan saja dengan
kecerobohan. Misalnya, jangan sampai terkena virus hepatitis seperti
Pak Dahlan Iskan!
***
Kesan yang lain dari serial tulisan
saya ini adalah bahwa rumah sakit-rumah sakit di Tiongkok hebat.
Sampai-sampai beberapa dokter menghubungi saya bagaimana kalau mereka
studi banding ke Tiongkok untuk belajar manajemennya.
Kepada
para dokter itu, saya bilang bahwa ide tersebut kurang tepat. Belajar
manajemen dan pelayanan rumah sakit jangan ke Tiongkok. Manajemen dan
pelayanan rumah sakit-rumah sakit kita, secara umum, lebih baik.
Terutama yang swasta. Memang, belakangan ini semakin banyak rumah sakit
di Tiongkok yang lebih modern, tapi masih belum mencapai tingkat
kecanggihan seperti di Singapura, bahkan di Malaysia sekalipun. Masih
perlu satu kurun lagi untuk mencapai tahap itu. Ini karena, meski
secara fisik dan peralatan sudah amat modern, carry over problems masih
terbawa. Kebiasaan lama orang-orangnya tidak bisa begitu saja berubah.
Saya
sendiri sering berdebat dengan petugas kebersihan toilet di Graha Pena
Jawa Pos Surabaya mengenai pertanyaan ini: sudah bersihkah toilet ini?
Saya menilai belum. Tapi, petugas menilai "sudah amat bersih". Saya
bisa memahami itu karena toilet ini mungkin sudah lebih bersih daripada
kamar tidur di rumahnya sekalipun.
Saya tidak bisa marah karena
tahu berapa gajinya dan bagaimana latar belakang ekonominya. Biasanya,
saya hanya memberikan contoh dengan cara mengelap sendiri bagian-bagian
yang kurang bersih itu di depan dia. Lama-lama standar kebersihannya
berubah. Tapi, memang perlu waktu dan kesabaran.
Kalau toh mau
belajar ke Tiongkok adalah mengenai keseriusan riset dan semangat untuk
majunya. Karena mereka sangat unggul di situ, saya yakin tidak lama
lagi rumah sakit di Tiongkok akan mencapai tahap seperti Singapura,
lebih cepat daripada waktu yang kita perlukan.
Kecepatan itu
akan fantastis kalau saja Tiongkok mengizinkan berdirinya rumah sakit
swasta. Sampai sekarang, semua rumah sakit masih milik pemerintah.
Rumah sakit juga menjadi sentral semua urusan kesehatan karena tidak
boleh ada dokter praktik di sana. Semua dokter fokus bekerja di rumah
sakit.
***
Berapakah biaya yang saya keluarkan untuk
mereparasi organ-organ saya itu? Kalau di penutup tulisan ini saya
memberikan isyarat jumlahnya, itu sudah meliputi semua pengeluaran.
Biaya operasinya sendiri tidak besar untuk ukuran saya. Mungkin seharga
rumah tipe 100 di lokasi yang sedang.
Seandainya saya hanya
punya rumah seperti itu pun, saya akan jual kalau harus melakukan
transplantasi ini. Itu juga yang dilakukan bapak saya ketika ibu sakit:
Menjual apa pun, termasuk alat-alat tukang kayunya, dan satu-satunya.
Kalau waktu itu tidak menjual rumah, itu karena tidak akan ada orang
yang mau membeli rumah lantai tanah di pelosok desa.
Dari
seluruh pengeluaran, yang terbanyak adalah untuk pendukungnya.
Misalnya, transportasi lokal, akomodasi, dan konsumsi saya sekeluarga,
wira-wiri saya sekeluarga dari Indonesia ke Tiongkok, dan sebagainya.
Biaya itu juga sudah termasuk pengobatan sejak terjadinya muntah darah
pada 2005.
Jadi, biaya terbesar sebenarnya bisa ditekan sesuai
dengan kemampuan. Misalnya, membatasi keluarga yang harus wira-wiri. Di
Tiongkok juga jangan tinggal di hotel, tapi cari apartemen murah saja.
Itu pun sewa saja. Misalnya, sewa enam bulan (tidak bisa sewa kurang
dari enam bulan).
Transportasi yang bagaimana juga memengaruhi
besarnya biaya. Naik kendaraan umum? Taksi? Beli mobil sendiri?
(Kebetulan saya beli mobil kelas Toyota Corolla dan itu berarti juga
harus punya sopir). Makan dengan masak sendiri atau setiap makan ke
restoran? Dan banyak lagi. Satu orang dan yang lain tidak akan sama.
Kalau semua biaya itu ditotal, untuk kasus saya ini, biaya operasinya
sendiri tidak sampai 20 persennya.
***
Semua itu tidak
ada artinya dibanding nilai kesehatan yang saya peroleh. Tapi, juga
sekaligus menyadarkan betapa mahalnya sehat itu. Imunisasi yang sekali
suntik Rp 70.000 memang mahal. Tapi, apa artinya dibanding yang harus
saya keluarkan ini?
Saya ingat kata-kata bijak di laboratorium
Prodia: Waktu muda mati-matian bekerja sampai mengorbankan kesehatan
untuk memperoleh kekayaan. Waktu tua menghabiskan kekayaan itu untuk
membeli kembali kesehatannya -dan banyak yang gagal.
Kebetulan,
saya tidak gagal. Dan lagi, saya kerja keras tidak semata-mata untuk
mencari kekayaan. Di dunia ini banyak orang yang kerja keras tanpa
bermaksud kerja keras. Atau sekadar hobi. Mainannya ya kerja keras itu.
Seperti Pak Moh. Barmen, tokoh olahraga di Surabaya. Mainannya ya
mengurus sepak bola itu.
Juga banyak sekali orang kerja keras yang karena didorong niat mulia -dan kekayaan hanya datang membuntutinya.
***
Kini
saya tidak hanya hidup baru dengan liver baru, tapi juga dengan tanda
baru di kulit perut saya. Yakni, tanda mirip simbol mobil Mercy
(Mercedes Benz), bekas sayatan dari tiga arah yang menyatu di tengah.
Boleh juga dibilang sayatan dari satu titik di tengah ke tiga arah.
Tapi, simbol Mercy di kulit perut saya itu tidak sempurna. Seperti
simbol Mercy yang digambar oleh anak berumur tiga tahun. Jelek tapi
tetap terlihat Mercy-nya. Jelek wujudnya, tetap mahal citranya.
Kini
saya punya dua Mercy. Yang satu, yang di rumah, adalah Mercy seri 500
keluaran 2005 yang dibeli dengan harga sekitar Rp 3 miliar. Satunya
lagi "Mercy" di kulit perut saya. Jelek, tidak tahu seri berapa, tapi
kira-kira sama harganya.
Sumber: http://dahlaniskan.blogdrive.com/
1xbet korean Betting Rules - Online Betting
BalasHapus1xbet 1xbet korean Betting Rules. Online betting is one of the easiest sports in worrione Asia, but one of the most popular sports among young men 바카라 is football. 1xbet korean.